Rabu, 01 Juni 2011

Alkohol dan Biogas najis ?

Pertanyaan dari agry_luxxxxx@yahoo.coom
Assalamu’allaikum wr wb……
samakah hukumnya biogas (dari kotoran binatang) dengan Alkohol yang digunakan untuk membersihkan bakteri?
ada ulama yang berpendapat haram dan ada yang berpendapat tidak apa – apa, lantas mana yang mana yang paling benar hukum dari biogas?
terimaksih
wassalamu’alikum wr wb…..
Jawab.
Wassalamu’alaikum Waramatullaahi Wabarakaatuh
Bismilah wal hamdulillah wash sholatu wassalamu ‘alarasulillah
Sebelumnya saya minta ma’af atas keterlambatan jawaban ini. Saya memperkirakan semua jawaban yang masuk akan kelar saya jawab pada hari Kamis kemarin. Karena adanya komputer yang ngadat dan file-file yang terkena firus, sehingga hampir semua data hilang, makadengan terpaksa baru hari ini saya bisa menjawab satu pertanyaan yang ada. Semoga ada guna dan manfaatanya.
Pertama saya akan berbicara tentang kenajisan AlKohol.
Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama baik dahulu maupun sekarang bahwa menggunaan alkohol untuk diminum adalah haram, karena adanya materi memabukkan yang ada pada alkohol itu sendiri, sama seperti khamar. Sedangkan sebab pengharaman khamar adalah zat yang memabukannya. Dalam Kaidah Islam disebutkan : segala sesuatu yang memabukkan dalam jumlah yang banyak, maka dalam jumlah sedikitnya juga haram.
Adapun tentang kenajisan dan kesucian alkohol, ketika membicarakan permasalahan ini banyak ulama yang merujuk kepada hukum khamar (arak). Jumhur Madzhab empat (Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali sepakat terhadap kenajisan khamar. Pendapat yang demikian ini dibenarkan penisbatanya kepada mereka oleh Imam Ibnu Taimiyah. Karena khamar itu nasji ainnya (dzatnya), maka mereka berpendapat haram menjadikanya sebagai komoditas jual beli. Karena adanya hadits yang nanti kan saya sebutkan di bawah : “Sesungguhnya Allah yang mengaharmkan meminumnya, juga mengharamkannya menjualnya”. Ini pendapat jumhur imam madzhab empat
Tetapi ada sebagian ulama, diantaranya Rabi’ah (guru Al-Imam Malik), Al-Laits bin Sa’d Al-Mishri, Al-Muzani (sahabat dan murid Al-Imam Asy-Syafi’i) dan Dawud Azh-Zhahiri (pendiri madzhab dzahiri di Andalusia), bahwa khamr tidak najis. Ini yang dipilih oleh Al-Imam Asy-Syaukani, Asy-Syaikh Al-Albani, dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah, mereka berpendapat bahwa khamar itu tidak najis. Dan pendapat inilah yang benar dan inilah yang diikuti oleh kebanyakan ulama sekarang ini.
Dasar dari pendapat ini adalah beberapa dalil berikut ini :
Adapun dalil yang digunakan oleh jumhur ulama, maka hal itu adalah ijtihad mereka –rahimahumullah– dalam memahami ayat tersebut.
Padahal najis yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah najis maknawi, artinya minum khamr adalah perbuatan najis (kotor) yang haram, meskipun zat khamr itu sendiri adalah suci. Pemahaman ini idukung dua faktor:
1.      Khamr dalam ayat tersebut disejajarkan dengan najisnya alat-alat judi, berhala-berhala sesembahan, dan anak-anak panah yang digunakan untuk mengundi nasib. Padahal disepakati bersama bahwa benda-benda tersebut adalah suci, yang najis adalah perbuatan judinya, perbuatan menyembah berhala, dan perbuatan mengundi nasib. Demikian pula dengan khamr. Yang najis adalah perbuatan minum khamr, bukan khamr itu sendiri.
2.      Kata rijs (yang diartikan najis) dalam ayat di atas disifati dengan kalimat berikutnya, yaitu  :
مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
(merupakan amalan setan).
Jadi yang dimaksud adalah amalannya bukan zatnya.
3.      hukum dasar dari segala sesuatu adalah halal dan suci, sampai ditemukan adanya dalil yang menyatakannya sebaliknya, sedangkan dalil itu tidak ditemukan. Ayat di atas tidak cukup kuat untuk merubah hukum dasar ini.
4.      mengqiyaskan kenajisan alkohol kepada kenajisan khamar adalah tidak dibenarkan, karena adanya perbedaan yang banyak antara dua jenis benda ini.
5.      bahkan tentang tentang kenajisan khamar itu sendiri tidak ditemukan adanya dalil yang pasti dan tegas. Jumhur menyatakan khamar itu najis karena khamar itu haram diminum, sama seperti air kencing.  Qiyas seperti ini tidak selamanya benar, karena banyak dzat atau materi yang haram tetapi tidak najis. Contohnya : memakai emas dan kain sutra untuk laki-laki adalah haram. Sedangkan emas dan sutra itu sendiri tidak najis hukumnya untuk laki-laki. Demikian juga meminum minyak tanah, bensin, solar atau bahkan racun adalah haram. Tetapi selama ini saya belum pernah mendengar ada fatwa yang menyatakan bahwa minyak tanah, bensin dan lainnya itu adalah najis. Jadi tidak semua yang haram adalah najis. Tetapi yang benar semua yang najis itu adalah haram.
6.      Berikut ini paling tidak ada dua buah riwayat yang justru menunjukkan bahwa khamar itu tidak najis, yaitu :
Yang pertama : Hadits Anas bin Malik radliallaahu ‘anhu  yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitabul Mazhalim, Bab Shubbil Khamri fi Ath-Thariq no. 2464, juga hadits Abu Sa’id Al-Khudri radliallaahu ‘anhu  yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitabul Musaqat, Bab Tahrimi Bai’il Khamr no. 1578. Disebutkan dalam kedua hadits itu bahwa para shahabat menumpahkan khamr mereka di jalan-jalan ketika diharamkannya khamr.
Ini menunjukkan bahwa khamr bukan najis, karena jalan-jalan yang dilewati kaum muslimin tidak boleh dijadikan tempat pembuangan najis. Bila ditanyakan: “Apakah hal itu dengan sepengetahuan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?” Maka dijawab: Jika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam shallallaahu ‘alaihi wa sallam  mengetahuinya berarti hal itu dengan persetujuan beliau. Berarti hadits tersebut marfu’ secara hukum. Bila tidak diketahui oleh beliau, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya, dan Allah  tidak akan membiarkannya bila memang hal itu adalah suatu kemungkaran, karena waktu itu merupakan masa turunnya wahyu.
Yang kedua : Hadits Ibnu ‘Abbas radliallaahu ‘anhu  yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitabul Musaqat, Bab Tahrimi Bai’il Khamr no. 1579, bahwa seorang laki-laki menghadiahkan sebuah wadah berisi khamr kepada Rasulullah . Maka Rasulullah berkata: “Tidakkah engkau mengetahui bahwa khamr telah diharamkan?” Kemudian ada seseorang yang membisiki laki-laki tersebut untuk menjualnya. Maka Rasulullah n bersabda:

إِنَّ الَّذِي حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا
“Sesungguhnya Dzat Yang mengharamkan untuk meminumnya juga mengharamkan untuk menjualnya.”
Kemudian Ibnu ‘Abbas c berkata:

فَفَتَحَ الْمَزَادَ حَتَّى ذَهَبَ مَا فِيْهَا
“Maka lelaki itu membuka wadah khamr tersebut dan menumpahkan isinya hingga habis.”
Kejadian ini disaksikan oleh Rasulullah dan beliau tidak memerintahkan kepadanya untuk mencuci wadah tersebut. Ini menunjukkan bahwa khamr tidaklah najis.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka menggunakan alkohol sebagai desinfektan alat-alat medis, untuk campuran parfum atau kepentingan yang lainnya, maka diperbolehkan dan tidak najis.
Adapun meminumnya, maka tidak dibenarkan dan haram hukumnya, karena ia dalam hal ini sama dengan khamar, sekalipun dalam jumlah yang sedikit atau untuk campuran obat sekalipun, seperti yang sering kita dalam obat-obat batuk. Maka sebisa mungkin carilah obat batuk yang benar-benar terbebas dari alkohol.
Ada sebagian dokter muslim dari Bojonegoro dan saya pernah berbincang-bincang dengannya tentang permasalahan ini. Dia mengatakan asalkan alkohol yang digunakan itu masih dalam batas kewajaran, yaitu sekitar 2 % saja, maka itu tidak apa-apa. Dia mengatakan toh kalau misalnya kita melakukan penelitian terhadap setiap makanan, bahkan nasi sekalipun, di sana ditemukan sekian persen kandungan alkoholnya. Karena itu dia menyimpulkan penggunaan alkohol dalam batas yang wajar dalam obat diperbolehkan.
Tetapi saya mengatakan sesuai dengan kaidah di atas : segala sesuatu yang memabukkan dalam jumlah yang banyak, maka dalam jumlah sedikitnya juga haram, maka banyak dan sedikitnya jumlah campuran alkohol dalam obat itu sama hukumnya. Dan yang membedakan antara kandungan alkohol dalam makanan dan alkohol yang sudah jadi (olahan) adalah bahwa kandungan alkohol dalam nasi itu bersifat alami, seperti kandungan alkohol yang terdalam dalam anggur. Tidak ada satupun manusia yang mengatakan anggur itu haram. Tetapi jika angur itu sudah diolah sedemikian rupa sehingga berubah menjadi arak (khamar), maka hukumnya pun juga berubah menjadi haram. Dan ia juga haram jika dicampurkan kembali kepada makanan atau minuman yang lainnya. Inilah bedanya antara alkohol yang masih alami pada tempatnya dan alkohol olahan.
Jadi mencampurkan kembali alkohol olahan kepada makanan dan minuman hukumnya adalah haram.
Adapun penggunaan biogas untuk disinfektan, saya masih asing dengan benda ini. Setahu saya biogas itu digunakan untuk bahan bakar.
Menggunakan biogas sebagai bahan bakar sama dengan menggunakan minyak tanah dan sejenisnya untuk bahan bakar. Karena minyak tanah itu seperti yang dikatakan oleh para ahli dan kita pelajari dahulu di sekolah-sekolah sampai sekarang bahwa bahan dari minyak tanah itu adala berupa fosil-fosil binatang dan bangkai-bangkai di masa lalu. Jika ini benar, maka bahan pembentuk antara biogas dan minyak tanah adalah sama, yaitu benda yang mula-mulanya najis, yang itu bangkai dan yang ini kotoran hewan. Kemudian kotoran itu diolah sedemikian rupa, sehingga menjadi bahan yang siap untuk digunakan sebagai bahan bakar.
Apakah asapnya menjadi najis. Menurut saya tidak, karena adanya peroses kimiawi yang merubah zat-zatnya sehingga menjadikannya tidak najis. Ini sama dengan pupuk kandang yang digunakan untuk memupuk tanaman. Pupuk kandang yang asalnya najis, kemudian diletakkan di tanah, kemudian terjadilah proses alami untuknya sehingga menjadikan tanaman itu menjadi subur dan mengahsilkan buah yang lebat dan lezat. Apakah kemudian buahnya menjadi haram, tentu saja tidak. Karena itulah dalam madzhab Hanafi disebutkan bahwa menjual barang yang nasji untuk diambil untuk diambil manfaatnya adalah boleh, serpti menjual kotoran hewan untuk pupuk tersebut. Ini diqiyaskan kepada pemanfaatan bangkai hewan ternak yang diambil manfaatnya dengan mengambil kulitnya dengan melalui proses samak terlebih dahulu. Bangkai yang asalnya haram dan najis, setelah melalui proses itu menjadi suci untuk digunakan di tubuh. Tetapi untuk dimakan tetap tidak diperbolehkan  alias haram. Kecuali madzhab Syafi’I yang mengharamkan jual beli segala sesuatu yang najis dzatnya, seperti kotoran binatang itu. Dan dalam pendapat saya madzhab Hanafi dalam hal ini adalah lebih benar pendapatnya.
Tentu saja tidak dipungkiri adanya perbedaan antara buah yang dipupuk dengan kotoran hewan dan yang dipupuk dengan kompos dari tanaman misalnya. Yang terakhir ini tentu lebih sehat.
Ini juga sama dengan hewan yang senantiasa memakan kotoran sehari-harinya. Walaupun madzhab Syafi’I dalam hal ini tegas menyatakan bahwa hewan makanannya barang-barang yang haram adalah haram hukumnya. Mereka menyebut hewan ini degan nama jallalah. Dan mereka menyatakan bahwa hewan ini akan menjadi halal jika diberikan makanan-makanan yang halal selama minimal tiga hari.
Tetapi selain madzhab Syafi’I menyatakan hewan itu tetap halal, karena adanya proses yang mengubah materi yang haram menjadi daging yang halal ,yaitu proses alamia yang ada pada hewan itu sendiri. Tetapi tidak ada satu pun orang yang memungkiri bahwa hewan yang memakan makanan yang bersih dan halal dagingnya lebih bagus dan lebih sehat. Tetapi yang diperselisihkan oleh para ulama apakah perbedaan rasa dan higines itu dapat mengubah statusnya dari halal menjadi haram ?. Madzhab Syafi’I menyatakan ya dan yang lainnya menyatakan tidak.
Jadi kembali kepada penggunaan biogas untuk bahan bakar adalah boleh dan asapnya tidaklah najis. Ini sama dengan orang kampun di masa dahulu jika hendak mengusir nyamuk, maka mereka membakar kotoran sapi yang sudah kering di belakang rumahnya dan dijamin semua nyamuk akan persi seluruhnya. Ini dijamin lebih efektif daripada fogging yang juga membahayakan dan banyak diprotes itu.
Sekian jawaban ini semoga ada guna dan manfaatnya. Kurang lebihnya semoga Allah mema’afkan. Wallaahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar